25 Tahun Perang Malvinas

Bulan Mei 2007 ini, Perang Malvinas atau Perang Falkland tepat berusia 25 tahun atau seperempat abad. Sebuah paruh waktu yang amat momental. Karena sempat dicatat sebagai perang amfibi terbesar dan udar kelautan terlengkap sejak Perang Dunia II, banyak pemerhati politik dan militer lalu tertarik mengulas kembali apa yang telah maupun bakal terjadi dengan kepulauan di ujung selatan wilayah Atlantik ini. Masih inginkah bangsa Argentina merebut kembali kepulauan ini?
Pertanyaan terakhir cukup bikin penasaran dan menyurut kegeraman London, terutama karena belum lama ini Presiden Argentina sempat menegaskan, bahwa Argentina akan kembali menguasai kepulauan ini. “Kepulauan  ini adalah kepentingan nasional semua orang Argentina.Kita harus merebutnya kembali agar bisa menjadi satu bagiandengan seluruh negeri Argentina,” katanya seperti dikutip Aircraft Illustrated (Edisi Mei 2007).
Dan segi ekonomi, Las Malvinas atau Kepulauan Falkland sendiri sebenarnya tak memancarkan daya tarik. Kepulauan ini tak pernah diceritakan memiliki cadangan minyak atau tambang apa pun yang bisa mengucurkan uang dalam jumlah hesar. Kehidupan penduduknya praktis hanya bergantung dari hasil kelautan dan ternak domba. Kepulauan ini juga didominasi cuaca yang tak bersahahat. Selalu buruk dan basah. Alamnya minim pepohonan, dingin dan bersalju. Bisa dimaklumi jika yang lebih berminat tinggal di sini adalah hanyalah pinguin, burung camar, dan anjing laut.
Maka pernyataan Kirchner untuk merebut kembali Malvinas pada dasarnya memang lebih bernuansa politik. Sama seperti yang pernah ditegaskan secara lantang oleh Presiden Leopoldo Galtieri
pada 1982 yang kemudian memicu Perang Malvinas. Hanya mungkin, nuansa itu akan lebihbersifat nasionalis ketimbang sekadar untuk mengalihkan perhatian dari problem dalam negeri seperti yang dilakukan Galtieri. Seperti diketahui, belakangan ini Presiden Hugo Chavez gencar sekali memperjuangkan hak-hak Venezuela dan bangsa-bangsa Amerika Latin serta gigih menentang kesewenang-wenangan Barat. Langkah berani ini kemudian diikuti Presiden Bolivia Evo Morales dan bukan tak mungkin juga akan ditiru
Hal seperti inilah yang juga tengah diantisipasi Pemerintah Inggis. Apa yang harus dilakukanjika Argentina bersama negaranegara Amerika Latin lain kemudian datang dan menuntut haknya atas Malvinas? Meladeni serbuan militer mungkin akan jauh lebih “ringan” ketimbang harus “melayaninya” di muka Mahkamah Internasional.
Kita bisa merasakan betapa hebatnya gema perjuangan negara-negara Asia Afrika usaiberkonferensi pada 18 April 1955 di Bandung. Nah, jika wadah seperti ini kemudian ditiru Argentina untuk merebut kembali kepulauan Malvinas atau Falkland, hasilnya mungkin akan berbeda jika mereka menggunakan kekuatan militer. Skenario semacam inilah yang sebenarnya membuat was-was Pemerintah Inggris. Terlebih karena posisi Kerajaan Inggris dalam hal kepemilikan Malvinas sama kuatnya dengan posisi kerajaan Spanyol – pihak yang kemudian menurunkan hak kepemilikannya kepada Argentina, bekas jajahannya di Amerika Selatan.
Kebetulan Argentina mengerti sekali tentang sejarah dan latar belakang Mal vinas. Setelah hertikai sekian lama dengan Spanyol, pada 1771, Kerajaan Inggris pernah diam-diam berdamai dan berbagi wilayah dengan Spanyol. Yang memberatkan, Inggris kemudian meninggalkan kept).1auan ini dan tak segera melalcukan koriskAidasi. Argentina mulai mengungkit i(sObali kepemilikan Malvinas pada 1910 d’irpada saat itulah Kementerian Luar Negeri Inggris untuk pertama kalinya mengaku bahwa klaim yang diajukan Argentina bukannya tidak berdasar.
Sejak itu Inggris pun lebih sulca menghindar jika ditanya tentang hak-hak yang sah tentang kepemilikan Falkland. Setelah berhasil merebut kembali kepulauan ini dari tangan Argentina pada-1982, tanpa banyak bicara mereka pun lebih memilih diam-diam memperkuat sistem pertahanan udara dan kewilayahannya. Sadar bahwakeinginan Argentina untuk menguasai kepulauan ini belum juga pupus, mereka lalu memperkuat sistem penjagaan dengan menempatkan skadron jet tempur Tornado F3. Pesawat ini secara reguler terbang berpatroli ke seantero wilayah untuk menjaga kedaulatan wilayah kedaulatan Fakland.
Inggris juga menempatkan pesawat angkut C-130K Hercules dan C-17 Globemaster untuk mobilitas pasukan dan pengiriman logistis, dua heli Sea King HAR35 untuk SAR, sebuah jeetlinerVC-10 untuk moda transportasi cepat personel ke Inggris dan tentu saja sepasukan marinir.
Jemu karena jauh dari sanak saudara dan seperti ini tinggal terpencil di Atlantik Selatan,tentunya merupakan permasalahan tersendiri bagi personel militer Inggris yang ditugasi menjaga menjaga kepulauan ini.London pun bukannya tak mau mengerti beban psikologis seperti ini. Sehingga boleh jadi untuk mengatasi hal itu, mereka bersedia meningkatkan sistem kesejahteraan pasukan dan kebutuhan lainnya sampai dua juta pound dari 143, 3 juta punds yang biasa mereka terima pada tahun fiskal 2005-06.
Kalau boleh berguman, baru kali inilah rasanya mereka kelabakan harus menjaga pulau-pulau yang dahulu bisa dengan mudahnya diduduki dan dikuasai pihak kerajaan. Untuk itu nyatanya diperlukan pengorbanan, dedikasi, dan anggaran yang tidak sedikit. Bahkan untuk pulau-pulau yang sama sekali tak menguntungkan secara ekonomis. Di mata Pemerintah Inggris, orang-orang Argentina bisa datang kapan saja dan celakanya minimnya penjagaan sudah memberi pelajaran yang amat berharga.Dengan sistem penjagaan yang sudah jauh lebih kuat dan canggih, kini militer Argentina  besar kemnungkinan memang tak akan bisa lagi dengan mudahnya merebut Malvinas seperti yang mereka lakukan pada April 1982.
Tetapi pertanyaannya kini, apakah orang-orang Argentina itu akan mengulang kebodohan yang sama? Juni 2006 lalu, di muka pejabat tinggi parlemen, Presiden Nestor Kichner telah secara serius membicarakan strategi untuk mengambil alih kepulauan ini. Pembicaraan itulah yang kemudian coba ditelaah intelijen, parlemen dan pejabat di Pemerintahan Inggris.Seriuskah? Jangan-jangan hanya sekerdar bincang-bincang kosong demi memeriahkan 25 tahun Perang Malvinas. Siapa Tahu
Previous
Next Post »
close