Hatta dan Program Rasionalisasi Tentara

TRI20Di era kolonial, sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah entitas ‘negara’, laskar-laskar muncul untuk membela dan mempertahankan tanah kelahiran mereka. Laskar-laskar itu berjuang dengan sangat gigih, berkonfrontasi dengan para penjajah yang menindas penduduk di wilayahnya. Walau dengan persenjataan yang ala kadarnya, laskar-laskar itu tidak takut dalam menghadapi lawan yang memiliki persenjataan lebih canggih dan modern pada saat itu.
Perlawanan melawan penjajah pun semakin gencar dilakukan, sehingga menginspirasi daerah lainnya yang juga ingin terbebas dari rezim penjajahan kolonial yang membuat banyak rakyat menderita. Pengorganisiran laskar-laskar pun dibutuhkan agar perjuangan meraih kemerdekaan bangsa yang bersatudan berdaulat.
Oleh karenanya, laskar-laskar itu perlu disinergikan dengan pasukan pejuang kemerdekaan negara (tentara reguler). Dengan begitu, skala perlawanannya pun semakin menjadi besar karena banyak daerah yang membentuk laskar untuk bisa segera terbebas dari belenggu penjajah yang menyengsarakan, hingga akhirnya Indonesia pun muncul sebagai entitas negara bangsa yang berdaulat.
Kolonial enggan mengakui bahwa wilayah jajahannya telah merdeka, dan mereka pun tak tinggal diam. Berbagai manuver soft power bahkan hard power pun dilakukan Belanda untuk tetap mempertahankan indonesia sebagai wilayah jajahannya. Laskar-laskar yang telah bergabung dengan Angkatan Bersenjata Indonesia pun tak tinggal diam. Perlawanan terhadap aksi-aksi yang mengancam stabilitas pertahanan dan keamanan Indonesia mereka lawan tanpa gentar untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lalu bagaimana nasib dan keberadaan laskar-laskar tersebut kini ? Apakah masuk kedalam tubuh TNI atau mereka memiliki jalan hidupnya sendiri?
Setelah keputusan Hatta ketika dirinya menjadi Perdana Menteri, ada sebuah program yang bernama ‘Rasionalisasi Tentara’. Program tersebut memiliki esensi bahwa tentara itu harus tentara profesional, artinya harus melalui jalur pendidikan tentara dan bukan jalur lainnya. Sementara pada masa itu, tentara itu muncul dari rakyat dalam bentuk laskar-laskar. Hal tersebut tercermin misalnya dalam cerita rakyat seperti Naga Bonar atau Sitor Situmorang yang merupakan laskar-laskar di Sumatera.
“Itu cerminan bahwa gairah pasca kemerdekaan itu untuk membela republik, itu muncul di tengah rakyat. Dan rakyat itu juga mendapat tantangan dengan mau kembalinya Belanda yang ikut dengan sekutu. Jadi saya mau bicara bahwa, merekalah, rakyatlah, laskarlah yang membela republik ini masih ‘orok’, masih lemah,” ungkap seorang sejarahwan muda asal Depok JJ Rizal kepada tim Angkasa Online beberapa waktu lalu.
Laskar-laskar yang turut berjuang bersama tentara tiba-tiba mereka akan dirasionalisasi untuk dikembalikan menjadi rakyat biasa, dan tidak lagi menjadi tentara. Kondisi tersebut seperti yang diungkapkan oleh Rizal, ternyata menimbulkan guncangan besar.
“Tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan ketika proyek rasionalisasi itu terjadi. Mau menyiapkan juga bagaimana? Orang republik masih kere, masih miskin, menerima sumbangan darimana-mana, dan itu menimbulkan kegoncangan besar,” ujar pria kelahiran 1975 ini.(Fery Setiawan, angkasa.co.id, 24 Juni 2016)
Previous
Next Post »
close